Status Quo Bias: Arti, Penyebab, Dampak, dan Cara Mengatasi
Namun kenyataannya, banyak juga yang enggan mengubah apa pun, bahkan ketika alokasi sudah tidak lagi sesuai tujuan. Fenomena ini disebut status quo bias, yaitu kecenderungan untuk mempertahankan pilihan yang sudah ada hanya karena terasa nyaman.
Bias ini sering membuat investor melewatkan kesempatan memperbaiki struktur portofolionya dan membiarkan risiko meningkat tanpa disadari.
Artikel ini membahas apa itu status quo bias dalam investasi, dampaknya, dan bagaimana cara mengatasinya.
Pengertian Status Quo Bias
Status quo bias adalah kecenderungan seseorang untuk tetap pada kondisi saat ini dan menolak melakukan perubahan meski perubahan tersebut bisa memberikan hasil lebih baik.
Melansir Psychology Today, bias ini terjadi karena otak ingin menghindari rasa tidak nyaman yang muncul saat harus mengambil keputusan baru.
Dalam dunia investasi, status quo bias membuat investor:
- Malas mengecek portofolio
- Enggan menjual saham yang overweight
- Bertahan pada strategi lama meski tidak lagi efektif
- Mengabaikan data baru karena takut merombak alokasi
- Berpikir “nanti saja” padahal kondisi sudah tidak ideal
Bias ini terlihat sepele, tetapi sangat memengaruhi performa jangka panjang.
Penyebab Status Quo Bias
Ada beberapa penyebab umum status quo bias:
1. Takut salah mengambil keputusan
Mengubah portofolio berarti mengambil langkah baru yang bisa terasa menakutkan.
2. Terlalu nyaman dengan aset tertentu
Saham atau ETF yang sudah lama dimiliki terasa “aman”, meski alokasinya sudah terlalu besar.
3. Beban informasi yang terlalu banyak
Mengubah portofolio butuh analisis. Banyak investor menundanya karena merasa prosesnya rumit.
4. Emotional attachment
Investor sering jatuh cinta pada saham yang dulu pernah memberikan keuntungan besar.
5. Efek “biarkan saja, toh masih naik”
Ketika pasar sedang naik, investor merasa tidak perlu mengecek ulang alokasi meski risikonya meningkat.
Dampak Status Quo Bias bagi Portofolio
1. Konsentrasi risiko berlebihan (overconcentration)
Jika satu saham atau sektor naik terlalu besar, alokasinya bisa membengkak. Hasilnya: portofolio lebih rapuh saat terjadi koreksi.
2. Tidak sesuai lagi dengan profil risiko
Investor mungkin dulunya agresif, tetapi kondisi hidup berubah.
Namun portofolionya tetap agresif karena tidak pernah direbalancing.
3. Melewatkan peluang memperbaiki strategi
Terdapat ETF baru, biaya lebih murah, atau sektor baru yang lebih relevan, tetapi tidak dimanfaatkan.
4. Rentan terhadap kejutan pasar
Portofolio yang tidak seimbang sulit bertahan saat gejolak besar seperti 2020 atau 2022.
5. Portofolio tidak berkembang optimal
Status quo sering membuat investor stagnan dalam strategi lama yang kurang efisien.
Contoh Status Quo Bias dalam Kehidupan Investor
- Menahan saham rugi karena “nanti juga balik naik”, padahal fundamentalnya memburuk.
- Membiarkan saham teknologi mendominasi lebih dari 60 persen portofolio karena performanya sempat bagus.
- Tidak pernah melakukan rebalancing tahunan, meski tujuan dan kondisi risiko sudah berubah.
- Tidak menambah ETF pasar luas, karena sudah terlalu nyaman dengan 1–2 saham individual.
Mengapa Rebalancing Penting?
Rebalancing adalah proses mengembalikan portofolio ke alokasi awal.
Ini penting karena:
- Menjaga risiko tetap sesuai profil
- Menjaga komposisi agar tidak overweight
- Mengambil profit dari aset yang sudah naik terlalu besar
- Memperkuat aset defensif untuk melindungi portofolio
Tanpa rebalancing, portofolio berjalan tanpa arah.
Cara Mengatasi Status Quo Bias dalam Portofolio
Ada beberapa langkah praktis yang bisa kamu lakukan.
1. Jadwalkan rebalancing rutin
Misalnya setiap 6 bulan atau 1 tahun. Dengan jadwal tetap, kamu tidak perlu menunggu “mood” atau kondisi pasar tertentu.
2. Tentukan batas alokasi maksimum
Contoh: Satu saham tidak boleh lebih dari 20 persen portofolio. Jika melewati batas, waktunya jual sebagian.
3. Fokus pada tujuan, bukan kenyamanan
Tanyakan: “Apakah struktur portofolio saat ini mendukung tujuan finansialku?” Jika tidak, berarti perlu penyesuaian.
4. Gunakan ETF sebagai fondasi
ETF membantu menjaga stabilitas dan membuat rebalancing lebih mudah.
Contoh core portfolio:
- 60 persen broad market ETF
- 20 persen sektor defensif
- 20 persen saham individual
Struktur sederhana mengurangi kebutuhan analisis rumit.
5. Hindari emotional attachment
Saham bukan pasangan hidup. Jika tidak lagi sehat untuk portofolio, kamu boleh lepaskan.
6. Evaluasi profil risiko secara berkala
Kondisi hidup berubah. Profil risiko juga harus menyesuaikan:
- Menikah
- Punya anak
- Pendapatan berubah
- Horizon investasi makin pendek
Update portofolio sesuai kondisi terbaru.
7. Gunakan pendekatan data, bukan perasaan
Perhatikan data soal:
- Alokasi
- Perubahan bobot
- Risiko sektor
- Korelasi antar aset
Data memberikan gambaran objektif sehingga tidak mudah terjebak bias.
Contoh Rebalancing Sederhana Untuk Investor Pemula
Misalkan portofolio awal:
- 60 persen ETF pasar luas
- 40 persen saham teknologi
Setelah setahun, saham teknologi naik dan menjadi 55 persen.
Artinya risiko meningkat karena portofolio terlalu condong ke satu sektor.
Solusi:
- Jual sebagian saham teknologi
- Kembalikan ke 40 persen
- Tambahkan ETF atau sektor lain untuk stabilitas
Langkah kecil ini menjaga portofolio tetap sehat.
Kesimpulan
Status quo bias adalah bias yang membuat investor terlalu nyaman dengan portofolionya sehingga enggan melakukan perubahan meski alokasi sudah tidak sehat.
Bias ini dapat menyebabkan overconcentration, risiko lebih tinggi, dan strategi yang tidak lagi optimal.
Dengan rebalancing rutin, menggunakan ETF sebagai dasar portofolio, dan fokus pada data, investor dapat menjaga keseimbangan dan mencapai tujuan jangka panjang dengan lebih aman.
FAQ
Apa itu status quo bias?
Kecenderungan untuk mempertahankan kondisi saat ini meski perubahan lebih menguntungkan.
Kenapa bias ini berbahaya dalam investasi?
Karena membuat portofolio tidak seimbang dan meningkatkan risiko.
Bagaimana cara mengatasinya?
Dengan rebalancing rutin, membatasi alokasi maksimum, dan menggunakan data objektif.
Disclaimer
PT Valbury Asia Futures Pialang berjangka yang berizin dan diawasi OJK untuk produk derivatif keuangan dengan aset yang mendasari berupa Efek.