Risk Tolerance: Definisi, Kenapa Penting, Jenis, Cara Tahu
Saat mulai berinvestasi, banyak pemula fokus memilih saham atau ETF terbaik. Padahal ada satu hal yang jauh lebih penting sebelum menentukan instrumen apa pun: risk tolerance atau batas risiko pribadi.
Risk tolerance adalah kemampuan dan kesiapan kamu menghadapi fluktuasi nilai investasi. Memahaminya akan membantu kamu menghindari keputusan emosional dan membangun portofolio yang sesuai dengan kenyamanan psikologismu.
Artikel ini membahas apa itu risk tolerance, cara mengetahuinya, serta bagaimana pemula bisa menyesuaikan portofolionya dengan batas risiko masing-masing.
Apa Itu Risk Tolerance
Risk tolerance adalah tingkat risiko yang sanggup kamu tanggung ketika berinvestasi, baik dari sisi mental maupun finansial.
Melansir Investopedia, risk tolerance dipengaruhi oleh usia, tujuan keuangan, penghasilan, pengalaman investasi, serta kemampuan menghadapi fluktuasi pasar.
Seberapa besar penurunan nilai portofolio yang bisa kamu terima tanpa panik dan menjual rugi.
Kenapa Risk Tolerance Penting?
1. Mencegah panic selling
Investor yang tidak memahami batas risikonya biasanya panik ketika pasar turun. Hasilnya: menjual di harga rendah, lalu menyesal saat pasar naik kembali.
2. Membantu memilih instrumen yang tepat
Risk tolerance menentukan apakah kamu cocok dengan:
- ETF pasar luas
- Saham blue chip
- Growth stocks
- Crypto
- Obligasi
- Atau kombinasi semuanya
3. Membuat strategi investasi lebih konsisten
Dengan mengetahui batas stres finansialmu, kamu bisa menjalankan strategi jangka panjang tanpa goyah oleh volatilitas jangka pendek.
4. Meminimalkan keputusan emosional
Fluktuasi pasar tidak lagi menjadi ancaman, tetapi bagian normal dari perjalanan investasi.
Jenis-Jenis Risk Tolerance
1. Conservative
Ciri-cirinya:
- Tidak nyaman melihat portofolio turun lebih dari 5 sampai 10 persen
- Fokus pada stabilitas dan pendapatan tetap
- Cocok dengan ETF obligasi, saham defensif, dan instrumen low risk
2. Moderate
Ciri-cirinya:
- Siap menghadapi penurunan 10 sampai 20 persen
- Ingin pertumbuhan stabil
- Cocok dengan campuran saham dan obligasi (misal 60/40, 70/30)
3. Aggressive
Ciri-cirinya:
- Oke dengan penurunan 20 sampai 40 persen
- Mengejar pertumbuhan jangka panjang
- Cocok dengan ETF growth, saham teknologi, dan sektor agresif lain
Tidak ada kategori yang benar atau salah. Yang penting adalah menemukan profil yang sesuai dengan kemampuan mental dan finansialmu.
Cara Mengetahui Risk Tolerance Kamu
1. Tanyakan: “Berapa persen penurunan yang bisa membuatku tidak tidur?”
Coba bayangkan skenario berikut: Portofolio 10 juta → turun jadi 8 juta dalam satu bulan. Apakah kamu:
- Santai (aggressive)
- Cemas tapi tetap pegang (moderate)
- Panik dan ingin jual (conservative)
Jawabanmu adalah indikator kuat.
2. Hitung kemampuan finansialmu
Risk tolerance bukan hanya soal emosi, tetapi juga kondisi keuangan. Jika kamu memiliki:
- Dana darurat penuh
- Penghasilan stabil
- Tidak punya tanggungan besar
maka toleransi risikomu bisa lebih tinggi.
Sebaliknya, jika pendapatan tidak stabil atau punya tanggungan besar, risk tolerance biasanya lebih rendah.
3. Tentukan horizon investasi
- Horizon panjang (10–20 tahun) membuat kamu bisa menghadapi volatilitas besar.
- Horizon pendek (1–3 tahun) lebih cocok dengan instrumen stabil.
4. Evaluasi pengalaman investasi
Pemula biasanya lebih konservatif, dan menjadi lebih moderat seiring waktu. Tidak apa-apa memulai dengan level rendah dan naik seiring meningkatnya kepercayaan diri.
5. Gunakan simulasi penurunan pasar
Coba skenario:
- Pasar jatuh 10 persen
- Pasar jatuh 20 persen
- Pasar jatuh 40 persen
Bagaimana responsmu? Semakin stabil emosi saat simulasi, semakin tinggi risk tolerance kamu.
Risk Tolerance vs Risk Capacity
Banyak pemula mengira keduanya sama, padahal berbeda.
Risk tolerance: Kemampuan mental kamu menghadapi volatilitas.
Risk capacity: Kemampuan finansial kamu menanggung kerugian tanpa mengganggu hidup.
Contoh: Kamu mungkin mentalnya kuat menghadapi penurunan 30 persen, tetapi jika tidak punya dana darurat, risk capacity kamu rendah. Artinya kamu tidak cocok dengan portofolio agresif meski emosinya kuat.
Cara Menyesuaikan Portofolio dengan Risk Tolerance
1. Untuk investor konservatif
Instrumen yang cocok:
- ETF obligasi
- Saham defensif
- ETF pasar luas dengan volatilitas rendah
- Cash equivalents
Rasio contoh: 70 persen aman, 30 persen saham.
2. Untuk investor moderat
Instrumen yang cocok:
- ETF pasar luas
- ETF sektor campuran
- Saham blue chip
- Obligasi jangka pendek
Rasio contoh: 60 persen saham, 40 persen obligasi.
3. Untuk investor agresif
Instrumen yang cocok:
- Growth stocks
- ETF teknologi
- ETF AI, semiconductor
- Small caps
Rasio contoh: 80 sampai 90 persen saham.
Kapan Risk Tolerance Perlu Dievaluasi?
- Ketika penghasilan berubah signifikan
- Ketika punya tanggungan baru
- Ketika mendekati tujuan keuangan
- Setelah melewati market crash (menilai reaksi emosimu)
- Setiap 12 bulan
Risk tolerance tidak statis. Ia bisa naik atau turun sesuai perkembangan hidupmu.
Kesimpulan
Risk tolerance adalah batas kemampuan mental dan finansial kamu dalam menghadapi fluktuasi pasar.
Memahaminya membantu kamu memilih instrumen investasi yang sesuai, menghindari panic selling, dan tetap konsisten menjalankan strategi jangka panjang.
Jika kamu ingin mulai membangun portofolio global sambil menyesuaikan strategi dengan toleransi risiko pribadimu, Gotrade Indonesia memungkinkan kamu berinvestasi saham dan ETF internasional selama 24 jam/5 hari.
FAQ
Apa itu risk tolerance?
Risk tolerance adalah tingkat risiko yang sanggup diterima investor saat menghadapi fluktuasi pasar.
Apa beda risk tolerance dan risk capacity?
Risk tolerance adalah batas mental menghadapi risiko, sedangkan risk capacity adalah kemampuan finansial menanggung kerugian.
Bagaimana cara mengetahui risk tolerance?
Dengan menilai respons emosional terhadap penurunan pasar, kondisi keuangan, horizon investasi, dan pengalaman pribadi.
Disclaimer
PT Valbury Asia Futures Pialang berjangka yang berizin dan diawasi OJK untuk produk derivatif keuangan dengan aset yang mendasari berupa Efek.