Narrative Fallacy: Arti, Dampak, dan Cara Menghindarinya
Apakah kamu pernah membeli saham hanya karena “ceritanya bagus”? Misalnya karena mendengar narasi bahwa perusahaan tertentu adalah “masa depan industri”, atau bahwa “saham AI pasti naik terus”. Cerita seperti ini sering terdengar logis, meyakinkan, dan mudah dipahami.
Namun dalam banyak kasus, narasi tersebut tidak sepenuhnya didukung data. Kondisi ini disebut narrative fallacy. Investor sering terjebak dalam cerita sederhana yang kedengarannya benar, tetapi tidak mencerminkan kondisi fundamental perusahaan.
Artikel ini membahas apa itu narrative fallacy, risiko yang ditimbulkannya, dan cara mengatasinya agar keputusan investasimu lebih objektif.
Apa Itu Narrative Fallacy dalam Investasi
Narrative fallacy adalah kecenderungan manusia untuk mempercayai sebuah cerita yang rapi, menarik, dan mudah dicerna meskipun tidak sepenuhnya akurat.
Mengutip CFI, otak manusia lebih mudah menerima narasi daripada data mentah. Inilah sebabnya investor mudah termakan promosi, prediksi optimistis, atau cerita masa depan yang terlalu indah.
Pasar saham sangat kompleks, penuh variabel, dan tidak selalu bisa diprediksi. Namun narasi membuat hal ini terasa lebih mudah dipahami. Misalnya:
- “Perusahaan teknologi pasti berkembang.”
- “AI akan merevolusi dunia, jadi semua saham AI pasti naik.”
- “Ini saham masa depan, jadi wajar kalau valuasinya mahal.”
Padahal cerita tersebut sering kali hanya sebagian kecil dari kenyataan.
Contoh Narrative Fallacy dalam Dunia Saham
Contoh 1: Narasi industri yang sedang hype
Ketika tren EV sedang populer, banyak investor membeli semua perusahaan yang berbau kendaraan listrik tanpa melihat kualitas bisnisnya.
Padahal tidak semua perusahaan EV punya modal kuat atau prospek jangka panjang.
Contoh 2: Mengikuti influencer yang membangun cerita dramatis
Melansir Psychology Today, manusia mudah percaya pada narasi yang disampaikan dengan penuh emosi atau keyakinan.
Di media sosial, banyak investor mengikuti rekomendasi hanya karena ceritanya meyakinkan, bukan karena datanya kuat.
Mengapa Narrative Fallacy Berbahaya?
Membuat investor terlalu percaya diri
Ketika cerita terdengar logis, investor merasa keputusannya pasti benar. Ini menciptakan overconfidence dan mengabaikan risiko penting seperti persaingan industri, profitabilitas, dan valuasi.
Mengabaikan fundamental perusahaan
Narasi membuat investor fokus pada potensi, bukan realita. Akibatnya, laporan keuangan atau indikator penting seperti margin, utang, dan cash flow sering tidak diperhatikan.
Membeli di harga yang terlalu mahal
Cerita yang sedang populer biasanya mendorong banyak investor masuk. Harga saham naik tidak karena fundamental, tetapi karena efek narasi. Ketika hype mereda, penurunan menjadi tajam.
Menyebabkan salah interpretasi risiko
Narasi sering hanya menampilkan sisi positif tetapi menutupi sisi negatif. Investor yang termakan narasi merasa risiko lebih kecil dibanding kenyataannya.
Sulit menerima kenyataan ketika narasi gagal
Ketika realita bertentangan dengan cerita, investor bisa terpukul secara emosional dan terlambat mengambil keputusan yang seharusnya dilakukan.
Dampak Narrative Fallacy pada Psikologi Investor
Menyederhanakan masalah yang kompleks
Narasi membuat investor merasa paham padahal hanya memahami sebagian kecil dari gambaran besar. Ini membuat keputusan tampak lebih mudah daripada kenyataannya.
Mendorong perilaku herd mentality
Cerita yang kuat membuat banyak investor melakukan hal yang sama, sehingga memperbesar hype dan meningkatkan risiko bubble.
Menciptakan bias konfirmasi
Investor akan mencari informasi yang mendukung narasi dan mengabaikan fakta yang bertentangan. Ini memperburuk kualitas analisis.
Cara Menghindari Narrative Fallacy
1. Periksa kembali cerita dengan data nyata
Jika kamu mendengar narasi bahwa sebuah perusahaan “akan mendominasi industri”, periksa apakah datanya mendukung.
Lihat pendapatan, pertumbuhan, cash flow, dan kompetitornya. Tanyakan apakah perusahaan benar-benar memiliki keunggulan.
2. Baca laporan keuangan, bukan hanya opini
Cerita yang digoreng media atau influencer tidak bisa menggantikan laporan keuangan.
Lihat laporan kuartalan, tren pendapatan, beban biaya, dan arus kas. Data ini membantu mematahkan narasi yang terlalu optimistis.
3. Fokus pada valuasi
Perusahaan dengan narasi kuat sering punya valuasi yang sangat mahal. Pastikan harga saham masuk akal dibanding kinerjanya. Valuasi menentukan seberapa besar risiko koreksi di masa depan.
4. Gunakan checklist investasi
Sebelum membeli saham, tanyakan:
- Apa bukti nyata yang mendukung narasi ini?
- Apakah ada risiko yang tidak disebut dalam cerita?
- Apakah perusahaan sudah menghasilkan keuntungan atau masih membakar uang?
- Apakah narasi ini sudah terlalu populer?
Checklist membantumu berpikir objektif.
5. Baca dua sisi cerita
Jika narasi terlalu indah, cari analisis yang lebih kritis. Melihat dua sisi data membuat kamu terhindar dari bias narasi tunggal.
6. Hindari keputusan cepat setelah mendengar cerita viral
Narasi yang viral biasanya datang bersama hype. Ambil waktu untuk membaca data sebelum memutuskan masuk ke saham tertentu.
Kesimpulan
Narrative fallacy adalah bias kognitif yang membuat investor mempercayai cerita yang terdengar logis tetapi tidak didukung data.
Narasi membuat sesuatu yang kompleks terlihat sederhana, namun dapat menyesatkan jika tidak disertai analisis fundamental.
Dengan memeriksa laporan keuangan, memahami valuasi, dan melihat data dari berbagai sudut, kamu bisa menghindari keputusan impulsif yang berasal dari cerita indah.
Ingat bahwa investasi berbasis realita jauh lebih kuat dibanding investasi berbasis narasi.
FAQ
Apa itu narrative fallacy?
Narrative fallacy adalah kecenderungan investor percaya pada cerita yang meyakinkan meskipun tidak sepenuhnya didukung data.
Mengapa narrative fallacy berbahaya?
Karena dapat membuat investor membeli aset karena hype, bukan fundamental.
Bagaimana cara menghindarinya?
Dengan mengevaluasi data, membaca laporan keuangan, dan memastikan narasi sesuai realita perusahaan.
Disclaimer
PT Valbury Asia Futures Pialang berjangka yang berizin dan diawasi OJK untuk produk derivatif keuangan dengan aset yang mendasari berupa Efek.